16 November 2011

Menikah Tanpa Adat Batak

Artikel ini ditulis oleh Portunatas Tamba, seorang lelaki Batak yang bekerja dan tinggal di Kota Tobelo, Pulau Halmahera, Propinsi Maluku Utara. Saya punya seorang teman, RS. Saya sudah sangat mengenal watak RS, orang batak yang ”keras kepala”, sama seperti saya, karena sejak kuliah kami sudah berteman. Sering menjadi teman diskusi bahkan beradu argument sampai “marsisonggakan”. Saat pertama berteman dengan RS, dia masih menganut keyakinan seperti pada umumnya orang Batak. Dan selalu rajin gereja. Demikian persahabatan kami berjalan dengan baik. Suatu hari dia mengajak saya diskusi. “Lae, sepertinya saya mau pindah keyakinan, tetapi tetap sama-sama Kristen kok,” katanya memulai pembicaraan.“ Maksudmu bagaimana?” tanyaku. Lalu dia menjelaskan bahwa dia sepertinya lebih bisa menerima cara pandang keyakinannya yang baru. Dia mengatakan lebih focus seluruh kehidupan untuk Tuhan. Tanpa dibebani oleh adat istiadat, yang menurut dia bahwa adat itu sebagai satu factor yang bisa menjauhkan dia dari Tuhan. Lantas saya Cuma bilang, “Terserah Lae, Lae sudah dewasa memutuskan apa yang terbaik bagi masa depan Lae. Tuhan tidak melihat label agama kok tapi bagaimana kau menerapkan kasih kepadaNya dan kepada sesama.” Saya yakin tidak ada gunanya menanyakan dia, 5W+H tentang jalan pikirannya. Yang terjadi malah debat kusir yang tak berujung. Tiga tahun lalu, RS memberitahu saya, dia mau menikah dengan boru batak. Dia beritahu bahwa kekasihnya dan pihak keluarga si perempuan, ingin pesta dengan adat batak, tetapi hal tersebut bertentangan dengan cara pandang RS, sesuai agama yang diyakininya. Dia bercerita sudah agak lama diskusi tentang hal ini tetapi belum ada kesepakatan. Dia mengatakan bahwa calon istrinya sebenarnya sudah bisa memahami cara pandangnya tetapi pihak keluarga belum. Sebenarnya orang tua RS juga sangat berkeinginan anaknya ”mangadati”, tetapi RS sudah sejak jauh hari memberitahukan dan menjelaskan kepada orang tuanya bahwa dia tidak akan pernah menikah secara adat, cukup menikah gereja. Pendekatan yang RS dan calon istrinya ke pihak keluarga akhirnya membuahkan hasil. Mereka menikah di gereja dan tanpa setitikpun tersentuh adat Batak. Pihak keluarga juga tidak mau memaksakan adat harus dilakukan karena keyakinan anak. Sampai saat ini mereka hidup bahagia, memiliki seorang putri. Tetapi di kampungnya, keluarganya sering diomongin tetangga dengan kata ”hurang maradat”. Saya sendiri masih bingung sebenarnya dengan cara pandang temanku RS yang melihat adat sebagai sesuatu yang ”kurang baik”. Tetapi saya sangat menghargai sikap dan pola pikirnya. Beberapa bulan lalu RS pernah berkunjung ke rumahku. Dia melihat ada Ulos aku buat jadi hiasan dinding dan photo. Ada juga Ulos kubuat hiasan salib. Dia mengatakan itu salah, tidak boleh. Saya cuma tersenyum menanggapi semua alasan dia mengatakan pemakaian ulos itu salah. Bagi saya tetap yang terpenting saling menghargai dan tidak menghakimi, karena kita tidak punya hak menghakimi siapa pun. Horas…  
www.rapolo.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketik komentar anda dengan baik dan sopan...

KISI-KISI SOAL PJOK KELAS 9

NO SOAL PILIHAN A PILIHAN B PILIHAN C PILIHAN D 1 Jumlah pemain ...